
BewaraMedia.Com – Cimahi. Berada di sebuah lembah yang di apit tiga gunung yakni Kunci, Cimenteng, dan Gajahlangu. Kampung ini memiliki bentang alam yang menawan. Pesonapun kian berpendar lantaran kearifan lokal warga dalam mengelola anugerah alam. Di tengah pesonannya yang tidak pudar meski berada di daerah perkotaan, di Kampung Adat Cireundeu. Terdapat hutan yang dianggap keramat Bahkan, ada larangan untuk berburu dan memikat satwa liar yang kawasan tersebut.
Namanya Hutan Larangan, Tutupan, Baladahan, hingga Puncak Salam. Yang berada di RW 10, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Konon, tempat ini tak bisa di masuki secara sembarangan. Dahulu, warga yang hendak menjajakan kaki di wajibkan melakukan puasa secara total atau mutih.
Namun, seiring berjalannya waktu, tempat tempat-tempat mulai ramai di kunjungi oleh masyarakat umum. Pengunjung pun di perbolehkan masuk ke hutan larangan, dengan syarat melepas alas kaki baik sandal maupun sepatu.
Etika Saat Memasuki Kawasan Yang Dianggap Keramat.
Sebelum menjajaki Puncak Salam, Suara.com terlebih dahulu mampir ke rumah sesepuh Kampung Adat Cireundeu bernama Abah Widi. Penting rasanya untuk sekedar meminta izin dan bertanya terkait etika saat memasuki kawasan yang dianggap keramat.
“Hutan larangan dan tutupan konsepnya seserahan. Bukan kita tidak boleh masuk ke situ, tapi jangan sampai merusak alam,” ujar Abah Widi belum lama ini.melansir dari suara.com
Aturan untuk memasuki kawasan yang di anggap keramat itu hingga kini masih di terapkan. Yakni tidak menggunakan alas kaki hingga tak mengenakan pakaian berwarna merah. Hal itu di lakukan, karena masyarakat adat Cireundeu percaya bahwa manusia dan alam merupakan suatu kesatuan.
Tidak mengenakan alas kaki di lakukan agar manusia merasakan sentuhan alam secara langsung. Melepas alas kaki menggambarkan kepercayaan bahwa ‘Gusti anu ngasih’ (Tuhan yang mengasihi), ‘alam anu ngasah’ (alam yang mendidik) dan ‘manusa nu ngasuh’ (manusia yang menjaga).
Sementara warna merah merupakan perbentukan emosi yang harus di tahan oleh diri masing-masing.
“Itu memang ada yang harus di pikirkan aturan Adat. Memang seperti itu kalau di bebaskan alam akan rusak, karena semua berani,” tegas Abah Widi.
Untuk mencapai Puncak Salam, pengunjung akan melewati hutan adat terlebih dahulu. Di mulai dari hutan atau ‘Leuweung Baladahan’, ‘Leuweung Tutupan’ dan ‘Leuweung Larangan’.
‘Leweung Baladahan’, merupakan lahan untuk bercocok tanam, khususnya singkong yang menjadi panganan utama bagi masyarakat adat Cireundeu. Masyarakat adat mengolah singkong tersebut menjadi rasi.
Kemudian, ‘Leuweung Tutupan’, tempat ini harus di jaga kelestariannya. Pohonnya boleh di tebang, tapi harus di tanami kembali. Saat melewati hutan ini hampir sebagian besar tanaman merupakan jenis bambu.
Perbedaan kontras antara Leuweung Tutupan dengan Hutan Larangan adalah kehadiran pohon pinus. Di sana terdapat bale yang bisa di gunakan traveler untuk menghela napas sejenak. Pasalnya, trek menuju Puncak Salam cukup terjal.
Etika Menjaga Alam dan Lingkungan di Kawasan Kampung Adat Cireundeu
Abah Widi mengatakan, kesestarian alam di wilayahnya masih terjaga meskipun tidak sepenuhnya.
“Saya tidak mengatakan semuanya masih terjaga, tapi 90 persen masih lestari,” ujarnya. di lansir dari suara.com
Sudah kewajiban kita semua untuk melestarikan alam menjaga kekakayaan di dalam nya sebagai warisan leluhur. Jika bukan kita siapa lagi namun harus di dukung oleh semua kalangan, semoga yang tersisa ini menjadi warisan bagi anak bangsa.
(ts)