Tumbangnya Caleg Incumbent di Pemilu 2024 

oleh
Tumbangnya Caleg Incumbent di Pemilu 2024 

Tumbangnya Caleg Incumbent di Pemilu 2024                                                                                                                                                      Oleh: Asnawi Patty, S.IP

Bewaramedia – Penyelenggaran pemerintahan bertaut erat dengan proses politik. Hal ini karena politik merupakan sarana negosiasi kepentingan yang kelak melahirkan kebijakan publik.

Proses politik di Indonesia berlangsung dalam sistem pemerintahan Presidensil yang mensyaratkan adanya pemisahan kekuasaan yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif berdasarkan prinsip “checks and balances”. Unsur legislatif, berposisi sebagai lembaga politik yang menegosiasikan berbagai kesepakatan dan kepentingan dengan eksekutif.

Pemilu adalah mekanisme demokrasi prosedural yang kemudian jadi moment untuk memilih anggota legislatif. Kini Pemilu telah usai. Tapi fenomena penting dari Pemilu saat ini adalah runtuhnya calon incumbent anggota legislatif . Hal ini dapat diamati pada rata-rata hasil Pemilu yang menunjukan adanya gejala tumbangnya kursi incumbent.

Salah satu contoh tumbangnya Caleg incumbent itu terjadi di Pileg Kota Cimahi. Terdapat 6 Daerah Pemilihan di Kota Cimahi yang hampir kesuluruhan incumbent gagal terpilih lagi di Pileg 2024, hal serupa juga terjadi di kabupaten seram bagian barat provinsi maluku, tumbangnya incumbent juga terjadi di beberapa dapil yang ada. Mengacu pada hasil pleno tingkat Kecamatan, tidak hanya dua kota/kabupaten tersebut, tapi mungkin juga fenomena ini berlaku hampir di sebagian besar Pileg di kabupaten/kota lain di Indonesia.

Warning Bagi Para Politisi

Terhadap kegagalan Caleg Incumbent itu, dapat dibaca sebagai warning bagi para politisi yang akan mempersiapkan diri di Pemilu mendatang, Selain juga menyiratkan karakter pemilih yang bisa melakukan evaluasi terhadap para caleg incumbent. Ketidak terpilihan mereka bisa jadi adalah hasil dari proses evaluasi politik. Dimana para pemilih beralih dari Caleg yang lama untuk memilih para pendatang baru di Pemilu.

Ringkas,ini terkait dengan ketidak puasan politik dan protes yang bisa saja menemukan jalannya melalui Pemilu. Dengan kata lain, kondisi tersebut, tidak menutup kemungkinan adalah refleksi penting soal protes dan sangsi sosial dari rakyat. Sehingga kualitas incumbent yang harusnya mampu mengoptimalkan peran dan fungsi saat berkuasa, tidak dapat dibuktikan. Sebagai evaluasi, rakyat kemudian beralih haluan untuk tidak memilihnya,

Fenomena menjadi catatan kritis sebagai perlawanan rakyat. Dimana ada kecenderungan rakyat untuk tidak memilih caleg lama dengan kinerja yang buruk. Disamping juga keterpuakauan mereka pada pendatang baru yang menawakran hal yang berbeda.

Pertama, penting diingat bahwa nasib politisi tidak selalu bergantung pada tingkat elektabilitas. Apalagi keberkuasaan mereka diperiode sebelumnya yang memungkinkan mereka mendayagunakan kapasitasnya sebagai incumbent di Pemilu. Politisi incumbent yang mencalonkan diri di Pileg punya “beban” politik untuk siap dievaluasi kinerjanya di Pemilu. Kedua, kekalahan incumbent juga memperkuat sangkaan bahwa kedepan para politisi tidak lagi bergantung pada sistem (kekuasaan) yang berada dalam kendalinya selaku petahana. Apalagi backup kekuasaan yang disertai modal sebagai garansi elektoral. Tetapi sebaliknya keterpilihannya sangat mungkin terjadi di tengah semakin evaluatifnya pemilih kita.

Dua hal inilah yang akan menjadi tantangan serius bagi para politisi kedepan. Caleg incumbent harus bisa mendayagunakan kapasitasnya sebagai petahana. Pemilu kini telah disadari sebagai momen evaluatif. Misalnya membaca peluang politik baru dimana pemilih juga punya kebebasan memilih dan mengevaluasi setiap caleg yang akan dipilih. Apalagi di tengah kondisi partai politik yang catch all party, kebebasan politik adalah harga yang sangat mahal, dan evaluasi terhadap kandidat caleg incumbent adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Dengan begitu, sanksi sosial dengan tidak memilih caleg incumbent tidak saja dapat dipahami sebagai transformasi pemahaman politik pemilih , tetapi keberanian mereka untuk melakukan evaluasi dan memberi sanksi bagi calon legislatif di Pemilu berikutnya.(*)

Editor: Muchamad Efendi

No More Posts Available.

No more pages to load.